Jumat, 03 Juni 2011

STUDI HUKUM DALAM PERSPEKTIF ILMU SOSIAL ATAU PEMANFAATAN ILMU SOSIAL DALAM STUDI HUKUM



A.       Latar belakang
Ilum hukum adalah ilmu yang mandiri atau otonom, keberadaannya betul-betul independen lepas sama sekali dari anasir-anasir di luar dirinya. Ungkapan tersebut sudah lazim didengar terutama oleh mereka yang beraliran positifisme hukum. Bagi mereka hukum dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu hukum yang dibuat oleh Tuhan dan hukum yang dibuat oleh manusia[1]. Hukum yang dibuat oleh Tuhan adalah apa yang terdapat dalam kitab suci suatu agama yang memuat perintah maupun larangan seperti, perintah solat,puasa,zakat,menunaikan ibadah haji sebagaimana yang terdapat dalam kitab suci umat Islam (Al-Qur’an) dan perintah yang lain yang terdapat dalam agama lain yang tertuang dalam kitab suci masing-masing.
Adapun yang kedua adalah hukum yang dibuat oleh manusia dapat dibedakan menjadi dua yaitu hukum yang sebenarnya dan hukum yang tidak sebenarnya. Hukum yang sebenarnya adalah hukum yang dibuat oleh penguasa dalam hal ini pemerintah maupun institusi yang terkait, hukum yang sebenarnya mengandung empat unsur, yaitu: perintah,sanksi,kewajiban dan kedaulatan.Kedua hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum yang berasal dari luar atau hukum yang bukan dari pemerintah itu sendiri, seperti hukum adat pada masyarakat adat dan lain-lain[2].
Apa yang diutarakan di atas merupakan pandangan dari aliran Analitical Jurisprudenci yang merupakan cabang positifisme hukum dimana tokoh penting dalam aliran tersebut adalah Jhon Austin. Berbeda halnya dengan. Aliran sosiologi hukum yang melihat hukum sebaliknya bahwa hukum tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat, kedua-duanya adalah saling menguatkan ketika proses pembuatan maupun ketika diberlakukan. Sehingga muncul istilah hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup ditengah masyarakat[3].
Kedua aliran atau mazhab hukum sebagaimana yang diungkapkan di atas melihat hukum berbeda-beda hal ini tentu membawa konsekwensi perbedaan metologis masing-masing dalam melakukan kajian maupun penelitian terhadap hukum. Pada pembahasan kali ini sesuai dengan judul makalah studi hukum dalam perspektif ilmu sosial maupun pemanfaatn ilmu sosial pada hakikatnya sama-sama memiliki hubungan yang erat antara hukum maupun masyarakat kedua hal tersebut atau lebih sederhananya memiliki objek yang sama yaitu masyarakat.
B.       Pembahasan
Seperti yang disinggung di atas pada dasarnya studi hukum dalam perspektif ilmu sosial maupun pemanfaatn ilmu sosial dalam studi hukum adalah dua hal yang menurut penulis sama-sama memberikan ruang yang terbuka antara satu dengan yang lain dalam melihat maupun merumuskan persoalan-persoalan hukum baik yang terjadi maupun masih dalam rancangan pembuatannya.
Adanya keterbukaan hukum terhadap disiplin ilmu sosial merupakan sebuah bentuk dari ketidak puasan terhadap positifisme hukum yang sama sekali masih tertutup pada persoalan lain diluar dirinya, kompleksitas persoalan sosial yang terjadi telah mengubah pandangan para ilmuan hukum bahwa ketertutupan melihat persoalan-persoalan diluar dirinya menjadikan hukum tidak lebih dari musium yang terpajang dilembaga-lembaga hukum, atau seperti halnya seorang dokter yang hanya bisa menyembuhkan pasien tetapi tidak bisa memberikan saran supaya pasien tersebut tidak kambuh lagi, atau bagaimana caranya supaya seseorang supaya tidak terkena penyakit.
Jika hukum diumpamakan seperti itu maka tidak cukup hanya berkutat pada persoalan norma dan aturan saja. Oleh karena itu menurut aliran sosiologi hukum atau aliran empiri pada umumnya berpendapat bahwa penstudi dan praktisi hukum harus melakukan kajian atau penelitian hukum secara sosiologi empiris. Satjipto Raharjo mengatakan bahwa untuk mampu memahami hukum lalu lintas tidak bisa hanya membaca undang-undang lalu lintas saja, tetapi juga harus turun mengamati langsung apa yang terjadi dijalan raya[4].
Tujuan dari studi secara sosiologi empiri adalah dalam rangka menjawab problem sosial Selain itu dapat juga memberikan pemahaman yang utuh terhadap hukum baik dalam konteks norma maupun dalam konteks sosial dan juga memudahkan para penstudi hukum untuk mendorong perkembangan ilmu hukum yang mempunyai nilai guna bagi masyarakat, begitu pula akan berguna bagi para praktisi dan para legislator dalam merumuskan peraturan perundang-undangan agar bisa melindungi kepentingan masyarakat banyak sesuai dengan perkembangan zaman[5].
1.          Hukum dan masyarakat
Menurut Satjipto Raharjo, hukum dan masyarakat tidak bisa dipisahkan, bagi hukum masyarakat merupakan sumber daya yang memberi hidup (to nature) dan menggerakkan hukum tersebut. Masyarakat menghidupi hukum dengan nilai-nilai, gagasan, konsep, disamping itu masyarakat juga menghidupi hukum dengan cara menyumbangkan masyarakat untuk menjalankan hukum. Kita mengetahui dari perspektif sosiologis hukum, hukum itu hanya bisa dijalankan melalui campur tangan manusia, sebagai golongan yang menyelenggarakan hukum, maupun mereka yang wajib menjalankan ketentuan hukum. Dengan demikian masuklah aspek perilaku manusia kedalam hukum[6].
Dalam karyanya yang lain Satjipto Raharjo berpendapat bahwa hukum bekerja dengan cara memancangi perbuatan seseorang atau hubungan antara orang-orang dalam masyrakat. Untuk keperluan pemancangan tersebut, maka hukum menjabarkan pekerjaannya dalam berbagai fungsi, yaitu[7]:
a.         Pembuatan norma-norma, baik yang memberikan peruntukan maupun yang menentukan hubungan antara orang dengan orang
b.        Penyelesaian sengketa-sengketa
c.         Menjamin keberlangsungan kehidupan masyarakat, yaitu dalam hal terjadi perubahan-perubahan sosial
Dari tiga pekerjaan hukum sebagaimana disinggung di atas dapat digolongkan sebagai sarana untuk melakukan kontrol sosial , yaitu suatu proses mempengaruhi orang-orang untuk bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat. Lebih lanjut Satjipto Raharjo mengemukakan bahwa apabila proses pengontrolan sosial tersebut dihubungkan dengan bagan hubungan sibernetik dari parsons, maka tampak bahwa pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh hukum itu tidak sama sekali otonom, melainkan kait-berkait dengan proses-proses lain yang berlangsung dalam masyarakat. Kait-berkait dalam arti, baik hukum itu mengontrol maupun dikontrol oleh berbagai proses dalam masyarakat ituserta bekerjanya hukum itu dikondisikan pula oleh proses-proses yang memuat energi lebih yang besar[8].
Suatu hal yang mustahil jika hukum bisa terlepas dan otonom dari unsur-unsur yang lain, oleh karena itu dalam hal ini Sabian Ustman melihat hukum sebagai fakta sosial tidaklah dikonsepsikan sebagai suatu gejala normatif yang otonom dan atau mandiri, akan teteapi sebagai suatu institusi sosial yang selalu membumi secara riil dengan pola-pola dan atau variabel-variabel sosial yang senyatanya hidup dan berkembang serta berakar di masyarakat.[9] 
Lebih lanjut Sabian berpendapat bahwa ada perbedaan mendasar anatara hukum  sebagai fakta hukum dengan hukum sebagai fakta sosial. Hukum sebagai fakta hukum spekulatif teoritis dan normatif, sementara hukum sebagai fakta sosial bersifat sosiologis’empiris,non-doktrinal dan non-normatif.
Dengan demikian dapat dikatakan bahawa hukum dan dinamika sosial adalah dua hal yang saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Masyarakat memberi hidup hukum sedangkan hukum mengarahkan masyarakat menuju tujunannya. Sebagaimana pandangan sosiological jurisprudence hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat. Lebih jauh Aliran ini berpandangan bahwa kaitannya dengan hukum yang positif,dia hanya akan bisa efektif apabila senyatanya selaras dengan hukum yang hidup di masyarakat dan pusat perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada badan-badan legislatif,keputusan-keputusan badan yudikatif atau ilmu hukum, tetapi senyatanya adalah justeru terletak di dalam masyrakat itu sendiri.
Hal yang senada di ungkapkan oleh Awaludin Marwan yang berpendapat bahwa hukum tidak bisa lepas dari masyarakat secara sosial , hukum dilaksanakan dibuat dan diterapkan atas mandat masyarakat. Sehingga mempelajari hukum pertama-tama hendaknya mempelajari masyarakatnya. Tidak ada hukum tampa ada masyarakat[10].
Lebih lanjut Awaludin Marwan berpendapat bahwa hukum yang baik adalah hukum yang memiliki legitimasi moral dan politik dari masyarakat, yang berisikan keinginan, harapan, kebutuhan dan kebudayaan masyarakat. Hukum yang tidak mengandung hati nurani rakyat, maka ia bukanlah hukum yang baik dan hukum yang terkhir inilah yang harus dikritik dan dirobohkan.
Senada dengan apa yang di ungkapkan oleh para pemeikir tersebut di atas Menurut Sulistiowati Irianto. Kegagalan gerakan pembangunan hukum dibeberapa negara berkembang dalam konteks tertentu baik dalam arus utama tidak dapat menjawab berbagai persoalan kemasyarakatan yang rumit dan tidak bisa dijawab secara tekstual dan mono disiplin dan dalam kondisi seperti itu penjelasan yang lebih mendasar dan mencerahkan bisa didapatkan secara interdisipliner. Oleh karenanya menurutnya dibutuhkan suatu pendekatan hukum yang bisa menjelaskan hubungan antara hukum dan masyarakat. Dalam konteks negara yang sedang berkembang studi ilmu hukum harus dapat mengkombinasikan antara ilmu sosial dan ilmu hukum[11].
Menarik untuk disimak pendapat para ahli hukum sebagaimana penulis sebutkan di atas, hukum tidak lagi sebagai sebuah musium yang terpajang dilembaga-lembaga hukum melainkan merupakan wujud dari dinamika kehidupan sosial. Dengan berangkat dari pendapat Satjipto Raharjo Bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan hukum untuk hukum merupakan sebuah paradigma baru melihat dan menyikapi hukum yang keberadaannya tidak bisa mengabaikan masyarakat begitu saja..
2.         Studi Hukum Dalam Perspektif Ilmu Sosiologi Dan Konsekuensi Metodeloginya
Studi hukum dalam perspektif ilmu sosial adalah sebuah upaya melakukan konstuksi hukum berdasarkan atas penomena sosial yang ada. Prilaku masyarakat yang dikaji adalah prilaku yang timbul akibat berinteraksi dengan sistem norma yang ada. Interaksi itu muncul sebagai bentuk reaksi masyarakat atas diterapkannya sebuah ketentuan perundang-undangan positif dan bisa pula dilihat prilaku masyarakat sebagai bentuk aksi dalam memengaruhi pembentukan sebuah ketentuan hukum positif[12]. Contoh yang dapat digambarkan dalam model studi hukum dalam perspektif sosial adalah misalnya studi tentang hukum pertanahan tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Kita bisa mulai dari aturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur masalah pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Apakah ada ketidak sesuaian antara peraturan perundangan dengan kondisi masyarakat, sehingga menimbulkan konflik ketika pemrintah melakuakan pembebasan tanah dan seterusnya.
Studi hukum perspektif sosiologi dapat menggambarkan hubungan hukum dengan masyarakat dalam bentuk:
a.         Kesesuaian antara semangat hukum dengan realitas masyarakat yang ada.
b.        Peluang dan tantangan ketika hukum tersebut di undangkan
c.         Mengetahui pengaruh ditetapkannya sebuah ketentua terhadap prilaku masyarakat
Konsekuensi metodelogi yang digunakan dalam studi ini adalah perkawinan antara metode hukum dengan ilmu sosial yang kemudian menghasilkan metode kwalitatif sosiolegal dan etnografi sosiolegal[13].

3.         Studi sosiologi dalam ilmu hukum dan konsekuensi metodeloginya.
Studi sosiologi berbeda dengan sosiologi hukum, dimana sosiologi hukum benih intelektualnya terutama berasal dari sosiologi arus utama, dan bertujuan untuk dapat mengkonstruksi pemahaman toritik dari sistem hukum. Ha itu dilakukan oleh para sosiolog hukum dengan cara menempatkan hukum dalam kerangka struktur sosial yang luas.
Hukum, preskripsi hukum dan definisi hukum tidak diasumsikan atau diterima begitu saja, tetapi dianalisis secara problematik dan dianggap penting untuk dikaji kemunculan-artikulasi dan tujuan. Hukum sebagai mekanisme regulasi sosial dan hukum sebagai sesuatu profesi dan disiplin, menjadi perhatian dalam studi ini. Studi ini banyak memusatkan perhatian kepada wacana hukum yang merupakan bagian dari pengalaman dalam kehidupan keseharian masyarakat. Hukum yang dimaksud adalah kaidah atau norma sosial yang telah ditegaskan sebagai hukum dalam bentuk perundang-undangan. Lingkup kajiannya adalah mengenai berfungsi atau tidaknya hukum dalam masyarakat dengan melihat aspek struktur hukum, dan aparat penegak hukum. Beberapa konsep penting yang dikaji adalah mengenai pengendalian sosial, sosialisasi hukum, stratifikasi,perubahan hukum dan perubahan sosial. Karena menginduk pada sosiologi maka konsekwensi metodeloginya adalah menggunakan metodelogi penelitian sosiologis yang secara tradisi dicirikan berada dalam ranah kuantitatif[14].









Kesimpulan
Adanya keterkaitan antara hukum dan masyarakat serta persoalan-persoalan yang dihadapi telah mengubah paradigma para pemikir atau para ahli hukum bahwa hukum pada dasarnya adalah melayani kepentingan masyarakat. Maka dari itu hukum dituntut untuk dinamis seiring dengan dinamisnya kehidupan masyarakat. Berangkat Dari sinilah sehingga dalam dunia hukum dikenal istilah sosiologi hukum maupun antropolgi hukum dan lain-lain. Munculnya gabungan antara ilmu sosial dan ilmu hukum tidak lain adalah untuk dapat menjawab problematika kehidupan masyarakat pada umumya begitu juga dengan antropogi hukum dan seterusnya.