Jumat, 03 Juni 2011

KU KIBARKAN BENDERA KEMERDEKAAN,KU WUJUDKAN CITA-CITAMU BANGKITKAN GENERASIMU DARI KETERTINDASAN.


Kuasa Tuhan terhadap hambanya tidak pernah bisa kita prediksikan, bagaimana tidak saya katakan demikian 60-an tahun silam peodalisme telah memangkas hak-hak kaum pinggiran yang oleh para sosiolog disebut sebagai kaum proletarian, di bawah ambisi dan keserakahan mereka-mereka yang seolah-olah merasa dirinya adalah The Second Good,kaum pinggiran diperlakukan tidak ubahnya binatang-binatang peliharaan,melayani saat dibutuhkan dibuang saat mereka tidak berguna lagi bahkan dibunuhnya jika dianggapnya menentang. Sungguh Ironis hal itu terjadi di tengah hangatnya gemuruh suara-suara kemerdekaan yang baru saja diteriakkan dari sudut kota hingga di pelosok-pelosok desa. Lalu apa bedanya mereka dengan Bangsa-Bangsa Eropa yang datang dengan misi penjajahan dan penjarahan terhadap orang-orang pribumi? Tidak berlebihan kiranya jika saya  mengatakan bahwa mereka adalah kolonialis lokal yang tumbuh dan berkembang dibawah bimbingan raja iblis sang penghuni alam kegelapan.
Akibat dari penjajahan dan keserakahan sang kolonialis lokal tersebut kaum pinggiran harus terusir dari tanah leluhur mereka yang telah didiami selama berabad-abad lamanya. Tidak ada pilihan lain selain melakukan hijrah walau dengan langkah tertatih-tatih menyusuri hutan rimba yang dihuni oleh mahluk-mahluk liar dan mematikan, tempat yang di tuju adalah tempat yang di anggap aman untuk melangsungkan kehidupan generasi-generasi penerus mereka yang nantinya mereka harapkan bangkit melakukan perlawan dan mengibarkan panji-panji kebebasa.
Adalah sebuh sejarah yang tidak terbantahkan bahwa hijrah adalah salah satu strategi mempertahankan diri dari seleksi alam, sejarah-sejarah peradaban dunia oleh para aktor-aktor karismatik mengawali kebangkitannya mulai dari hijrah, Muhammdda S.W. mengajak kaumnya hijrah dari mekkah ke madinah,para NAPI Inggris ke Australia, Kertarajasa Jaya Wardana dari kediri ke majapahit,Arya Banjar Getas dari Kerajaan selaparang ke memelak praye dll. Semua itu adalah sejarah perjalan komunitas orang-orang terpinggirkan yang kemudian meninggalkan peradaban yang gemilang bagi generasi-generasi mereka.   
Pahlawanku,,,!!!Ceritamu masih terukir rapi dalam keterbatasan memoriku,bagaimana mereka (kaum pinggiran) harus bersimbah darah akibat kebiadaban sang kolonialis lokal sembari mengibarkan panji-panji kesesatan kerajaan iblis penghuni kegelapan.  
Pahlawanku,,,!!! Ceritamu masih terukir rapi dalam keterbatasan memoriku bagaimana mereka-mereka dengan congkaknya menghalau langkahmu menuju hakmu yang dijamin oleh konstitusi menikmati apa yang disebut dengan dunia pencerahan yaitu pendidikan.
Pahlawanku,,,!!! sungguh tidak bisa ku bayangkan betapa beratnya hidupmu dibawah tekanan iblis-iblis nyata yang setiap saat mendekte setiap denyutan nadimu.
Pahlawanku,,,!!! Walaupun dadaku terasa sesak bagai menghirup gumpalan asap tebal,,saya akan selalu ingat dengan petuah bijakmu bahwa tindakan buruk tidak harus dibalas dengan keburukan pula. Cita-cita muliamu akan ku wujudkan walau harus berjalan tertatih-tatih menyusuri tebing-tebing kehidupan yang terjal dan mematikan. Namun demikian saya yakin dibawah restumu semua itu hanyalah kerikil-kerikil kecil yang dengan mudah ku lalui.
Pahlawanku,,,!!! Aku ingin Engkau tersenyum manja dikala aku mencapainya,,,pencapain itu semata-mata ku persembahkan untukmu..Rabbigfirlii Waliwaa liidayya warhamhuma kamaa Rabba yaa nii shagiiro.

Polemik dan Tantangan Penegakan Hukum Progresif di Indonesia



A.       Latar Belakang
Dalam banyak literatur hukum dimaknai sangat bervariasi, hal tersebut dikarenakan paradigma dan sudut pandang yang digunakan dalam melihat hukum itu sendiri berbeda-beda, namun pada intinya varian-varian pemaknaan terhadap hukum tersebut pada dasarnya ingin menuju ke-satu tujuan yaitu tercapainya keadilan sosial bagi keberlangsungan hidup manusia itu sendiri.
Oleh karena itu menarik untuk melihat pandangan salah satu Sofis Ionian mengenai hukum itu sendiri yang terdapat dalam bukunya Bernard L. Tanya. Yoan Simanjuntak dan Markus Y. Hage yaitu pandangan Plato dimana dia berpendapat bahwa dalam situasi ketidak adilan hukum hukumlah yang menjadi instrumen menghadirkan keadilan, dalam bentuk pemerintahan yang bagaimanapun ketidak adilan akan selalu ada dan disitulah peran hukum yang sesungguhnya untuk menjadi instrumen menghadirkan keadilan[1].
Lebih lanjut secara lebih rinci Bernard dkk, mengutip pandangan Plato yang merumuskan teorinya tentang hukum sebagai berikut, Pertama, hukum merupakan tatanan terbaik untuk menangani dunia fenomena yang penuh situasi ketidak adilan. Kedua, aturan-aturan hukum harus dihimpun dalam satu kitab, supaya tidak muncul kekacauan hukum. Ketiga, setiap Undang-Undang harus didahului preamble tentang motif atau tujuan undang-undang tersebut, manfaatnya adalah agar rakyat dapat mengetahui dan memahami kegunaan menaati hukum dan insap tidak baik menaati hukum hanya karena takut dihukum. Keempat, tugas hukum adalah membimbing para warga lewat Undang-Undang pada suatu hidup yang saleh dan sempurna. Kelima,orang yang melanggar hukum harus dihukum[2]. 
Rumusan Plato sebagaimana yang dikemukakan di atas, jika dilihat dari segi formalistik dalam konteks era modern sesungguhnya telah terejawantahkan dalam realitas hukum indonesia, namun bukan berarti bahwa hukum sebagai instrumen keadilan telah berdiri tegak dan menjadi garda terdepan dalam menangani ketidak adilan ditengah-tengah masyarakat yang kian hari kian tidak menentu perlakuan hukum yang mereka dapatkan dan mereka saksikan. Sudah barang tentu ketidak adilan hukum tersebut membutuhkan penegakan yang serius oleh para penegak hukum itu sendiri,
Oleh karena itu tidak berlebihan kiranya jika dalam hal ini penulis menilai bahwa keadilan hukum yang diangan-angankan masih berada pada tataran ide karena wujud keadilan itu sendiri belum terlihat secara universal ditengah kompleksitas masyarakat yang mejemuk tersebut. Menurut Satjipto Raharjo yang mengutip pandangan Retbruch, pada hakekatnya hukum mengandung ide atau konsep-konsep yang dapat digolongkan sebagai sesuatu yang abstrak dimana ide dan konsep hukum tersebut meliputi, keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial[3]. Maka dengan demikian dalam konteks penegakan hukum maka pada hakekatnya berbicara tentang penegakan ide-ide serta konsep-konsep yang notabene adalah abstrak tersebut, dirumuskan secara lain penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan, proses penegakan ide-ide tersebut merupakan hakekat dari penegakan hukum.
Untuk mewujudkan ide-ide hukum (keadilan,kepastian hukum,kemanfaatan sosial) diperlukan berbagai organisasi, sekalipun pada hakekatnya mengantarkan orang kepada tujuan-tujuan hukum, lebih lanjut Satjipto mengatakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan, keinginan-keinginan hukum adalah fikiran-fikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum, proses penegakan hukum juga menjangkau sampai kepada pembuatan hukum, perumusan pemikiran pembuatan hukum yang dituangkan dalam peraturan akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan, dalam kenyataannya proses penegakan hukum itu akan memuncak kepada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum dan keberhasilan atau kegagalan penegakan hukum dalam menjalankan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan tersebut dibuat[4].
Menurut Mahfud MD, di Indonesia hukum dipandang sebagai sesuatu yang belum tertata secara objektif, namun masih terkesan pandang bulu dan diskriminatif.
Hal ini mengemuka menyusul berbagai persoalan hukum yang terjadi di negeri ini mulai kasus Cicak versus Buaya, skandal Bank Century, dan yang paling mutakhir kasus mafia pajak dan mafia hukum Gayus Tambunan. "Hukum yang seyogyanya memiliki tujuan tertinggi untuk menegakkan keadilan, ternyata masih jauh panggang dari api. Seperti halnya berbagai produk hukum di masa orde baru yang sangat ditentukan oleh konstelasi politik untuk melanggengkan kekuasaan. Di era reformasi hukum masih menjadi ajang perebutan legitimasi bagi berbagai kepentingan kekuasaan politik untuk mempertahankan dan mengakumulasi kekuasaan. "Bahkan perebutan kekuasaan ini tak hanya melibatkan kekuatan politik melainkan juga kekuatan ekonomi baik dalam maupun luar negeri[5].
Lebih lanjut Mahfud mengatakan, praktik penegakan hukum masih dililit berbagai permasalahan yang menjauhkan hukum dari tujuan mulianya. Secara kasat mata publik dapat melihat banyak kasus yang menunjukkan adanya diskriminasi dalam proses penegakan hukum termasuk putusan-putusan pengadilan, Rasa keadilan kita sering terusik jika membandingkan proses hukum terhadap kasus-kasus kecil seperti pencurian dua buah kapuk randu atau semangka dengan penanganan beberapa kasus korupsi yang sangat lambat dan tidak pernah tuntas[6

B.       Pembahasan
Ketika berbicara tentang hukum progresif maka kita tidak bisa lepas dari gagasan bengawan hukum indonesia yaitu Prof . Tjip begitu orang-orang menyebut namanya, beliau sudah tidak asing lagi di kalangan akademis khususnya di dunia hukum indonesia. Gagasannya tentang hukum progresif bisa dibilang cukup revolusioner bahkan banyak kalangan akademis memasukkannya sebagai salah satu pemikir kontemporer yang beraliran post-modernisme sekaligus kritis. Salah satu dari sekian banyak idenya tentang hukum adalah apa yang disebut di atas yaitu hukum progresif, ide tersebut lahir dari sebuah refleksi dari perjalanan intelektualnya selama menjadi musafir ilmu di dunia hukum.
Menurut Otje Salman dan Anton F. Susanto esensi utama pemikiran Prof. Tjip adalah berangkat dari konsep bahwa hukum bukan sebagai sebuah produk yang selesai ketika diundangkan atau hukum tidak selesai ketika tertera menjadi kalimat yang rapih dan bagus, tetapi melalui, proses pemaknaan yang tidak pernah berhenti maka hukum akan menampilkan jati dirinya yaitu sebagai sebuah ilmu. Proses pemaknaan itu digambarkan sebagai sebuah proses pendewasaan sekaligus pematangan, sebagaimana sejarah melalui preodesasi ilmu memperlihatkan runtuh dan bangunannya sebagai teori, yang dalam terminologi pemikiran Khun disebut sebagai lompatan paradigmatik[7].   
Sedangkan dalam gagasannya sendiri tentang hukum progresif Prof. Tjip disamping yang disebutkan di atas hukum progresif lahir dari sebuah keprihatinan melihat hukum di indonesia yang hingga saat ini belum mampu mewujudkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial dimana hukum masih berpihak kepada kalangan yang berpunya sedangkan orang biasa dibuat tidak berdaya oleh hukum itu sendiri. Menurutnya adanya diskriminasi dan kerja buruk hukum itu sendiri telah menyebabkan turunnya kepercaan masyarakat terhadap hukum[8].
Lebih lanjut menurut Prof. Tjip lahirnya era reformasi yang ditandai dengan tumbangnya rezim orde baru bangsa indonesia belum mampu mengangkat hukum sampai kepada tarap mendekati keadaan ideal, tetapi malah semakin menimbulkan kekecewaan terutama berhubungan dengan pemberantasan korupsi, komersialisasi dan commodifacition hukum dari tahun ketahun semakin marak[9].
Berangkat dari kegelisahan Prof. Tjip melihat hukum di indonesia yang tidak kunjung tegak menurut penulis sekaligus merupakan sebuah tantangan penegakan konsep hukum progresif itu sendiri, dari sudut paradigma tentang hukum maka bisa dikatakan bahwa sebagaian besar aparat penegak hukum di indonesia masih terjebak dalam hegomoni pemahaman positivistik hukum yang lebih mengedapankan kepastian hukum dengan mengacu kepada apa yang di perintahkan oleh teks, akibat yang paling signifikan dari pengaruh positifisme hukum adalah kecendrungan hukum dimanfaatkan oleh segelintir penguasa tertentu demi mencapai kepentingan pribadi dan kelompok.
Indikasi terhadap munculnya pengaruh positifisme hukum dalam institusi penegak hukum dapat kita lihat bagaimana hukum begitu galak dan kejam tampa mengenal konpromi, disamping itu bagaimana hukum dengan begitu mudah meloloskan beberapa pejabat negara yang tersandung kasus-kasus korupsi dan tindak pidana lainnya. Maka tidak berlebihan kiranya jika dalam hal ini Prof. Tjip mengatakan bahwa prilaku dan praktik hukum di Indonesia terlalu besar untuk hanya dimasukkan ke dalam pasal-pasal undang-undang begitu saja karena bisa saja undang-undang berkata berbeda dengan prilaku hukum masyarakat yang sesungguhnya[10]. Dalam konteks hukum di indonesia hukum  masih jalan-jalan ditempat dia masih belum mampu berdialektika dengan dinamika sosial masyarakat indonesia, maka memunculkan sebuah pertanyaan lalu dimana salahnya?, apa yang salah sesungguhnya?[11] . 
Hukum sayogyanya mampu melahirkan kebahagiaan terhadap warga negara, karena pada dasarnya manusia hadir dimuka bumi ini adalah untuk memburu manfaat berupa kebahagiaan baik itu kebahagiaan dunia maupun akhirat. Dalam hal ini penganut faham utilitarianisme Jheremi Betham mengatakan bahwa seluruh tindak tanduk manusia disadari atau tidak sesunguhnya tertuju untuk meraih kebahagiaan itu. Oleh karena itu hukum sebagai tatanan hidup bersama harus diarahkan untuk menyongsong kebahagiaan itu dan hukum harus berbasis manfaaf bagi kebahagiaan manusia.[12]  Senada dengan  Prof. Tjip tujuan dari hukum itu harus dirumuskan dalam kata-kata  keadilan dan kebahagiaan, bukan rasionalitas, namun kebahagiaan itulah yang hendaknya ditempatkan di atas segalanya. Para penyelenggara hukum di negeri ini hendaknya senantiasa merasa gelisah apabila hukum belum bisa membuat rakyat bahagia,[13] penyelenggara-penyelenggara hukum yang memiliki kegelisahan seperti itulah yang dia sebut sebagai penyelenggara hukum yang progresif.
Apa yang dikemukakan oleh Prof. Tjip di atas tentu saja bukan persoalan yang mudah, terbukti dalam tahun-tahun terakhir ini para penegak hukum tidak jarang tersandung kasus-kasus penyuapan dan semacamnya. Disisi lain perpolitikan nasional dalam rangka menumbuh kembangkan hukum yang dinamis dan responsif bisa dibilang masih sibuk pada urusan kepentingan pribadi dan kelompok. Sebuah ungkapan yang cukup menggugah dari Prof Tjip tentang keberadaan hukum dalam suasana politik yang tidak menentu ini membuka mata kita bahwa ternya hukum selama ini belumlah melakukan pelayanan yang sesungguhnya, siapakah yang pernah dilayani oleh hukum? Apakah kita masih konsisten dengan desain dan pesan-pesan yang dibuat dan diletakkan dalam UUD,dan sebagainya[14]?.
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu mungkin  sudah tidak asing lagi ditelinga kita, hal tersebut memang tidak lepas dari pergolakan politik maupun hukum yang kedua-duanya memiliki pengaruh tersendiri dalam stabilitas negara. Maka seperti yang dikemukakan di atas salah satu solusi dari ketidak teraturan itu adalah apa yang digagas oleh Prof. Tjip yaitu hukum progresif, namun gagasan beliu tidak gampang untuk dilaksankan begitu saja tampa ada masalah yang dihadapi, terkait dengan hal tersebut dalam pembahasan berikut ini penulis mencoba menganlisi problem penegakan hukum progresif di indonesia.
1.         Problem penegakan hukum progresif di indonesia
Karena gagasan hukum progresip Satjipto Raharjo masih berada pada tataran ide maka sejauh pengamatan penulis ada dua persoalan yang mendasar yang menjadi kendala utama ide tersebut  belum bisa diwujudkan dalam kenyataan yang masing-masing memiliki pengaruh tersendiri terhadap keberlangsungan penegakan hukum di indonesia.
a)      Hegemoni Pemahaman Hukum yang statik anti dinamika
Gagasan hukum progresif Prof Tjip harus diakui mampu mengilhami banyak pemikir maupun praktisi hukum bagaimana pentingnya keluar dari polemik yang tidak berkesudahan dari sejak awal kemerdekaan hingga era transisi demokrasi, ada beberapa persoalan yang mendasar yang seolah-olah menjadi sebuah tembok penghalang bagaiman ide dan gagasan beliau diterapkan dalam ranah hukum di Indonesia itu sendiri. Persoalan yang paling menadasar terhadap penegakan hukum progresif sebagaimana disebutkan di awal adalah besarnya pengaruh positifisme hukum, sehingga membentuk sebuah anggapan bahwa hanya dengan kepastian hukumlah keadilan itu dapat tercipta, anggapan yang demikian ini menurut Prof. Tjip adalah anggapan yang berpotensi menyesatkan, karena berbicara mengenai kepastian hukum maka kepastian hukum yang umumnya difahami adalah apa yang dipruduk oleh undang-undang[15].
Pemahaman semacam demikian adalah sebuah pemahaman yang klasik, hukum hari ini berada ditengah-tengah peradaban yang serba terbuka, maka dengan demikian hukum harus membuka dirinya dengan semua aspek keilmuan, karena kemungkinan-kemungkinan itu akan terus hadir disinilah hukum tidak mampu menjelaskan kemungkinan kemungkinan tersebut tampa melibatkan ilmu-ilmu lain, dalam hal ini Awaludin Marwan berpendapat bahwa selayaknya hukum harus merambah mengajak diskusi semua ilmu pengetuahan yang terus berkembang. Mulai dari psikologi,sosiologi,antrologi, dan seterusnya, hukum juga hendaknya berdialog dengan perkembangan pemikiran intelektual barat maupun timur.[16] Lebih lanjut Awaludin mengatakan bahwa hukum sudah saatnya berlayar dan berpetualang, berani melepaskan pakem-pakem, dan keluar ,mencari kebenaran dari berbagai macam sudut. Namun pelayaran dan petualangan yang bukan tampa tujuan, melainkan dengan tujuan yang kokoh dan absolut, yakni membuat hukum menjadi lebih kuat, kokoh, tangguh dan mampu memberikan kebahagiaan serta kebenaran kepada manusia dalam arti yang sesungguhnya[17].
Berangkat dari pandangan tersebut di atas maka dalam hal ini hukum sudah seharusnya mengikuti dinamika sosial dimana dia hidup bukan sebaliknya dipajang di musium lembaga penegak hukum, dalam hal ini Prof. Tjip membangun konsep bagaimana pekerjaa-pekerjaan hukum dalam kaitannya dengan kehidupan sosial antara lain sebagai berikut:
1)        Merumuskan hubungan-hubungan di antara anggota-anggota masyarakat dengan menunjukkan perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang dan mana yang boleh dilakukan
2)        Mengalokasikan dan menegaskan siapa-siapa yang boleh menggunakan kekuasaan atas siapa, berikut prosedurnya
3)        Peneyelesaian sengketa-sengketa.
4)        Mempertahankan kemampuan adaptasi masyarakat dengan cara mengatur kembali hubungan-hubungan dalam masyarakat apabila keadaan berubah.
Lebih lanjut Prof. Tjip mengemukakan dari pekerjaan-pekerjaan hukum tersebut di atas pada angka empat menunjukkan betapa eratnya hubungan antara hukum dan perubahan sosial atau betapa pekanya hukum itu berhadapan dengan dinamika sosial itu[18].   
Dalam konteks bangunan hukum nasional telah berhasil melakukan kodivikasi dan univikasi sebagai hukum modern, namun demikian bukan berarti telah berhasil menciptakan sebuah keadilan nyatanya hukum nasioanal masih menyisakan persoalan tersendiri pada aras praksisnya, dalam hal ini adalah keterasingan hukum lokal. Dalam hal ini Bernard berpendapat bahwa dua persoalan  mendasar  dari hukum nasional itu sendiri dalam konteks hukum lokal, Pertama sebagai konsekuensi dari peraturan yang terpusat, segala ketentuan, prosedur, dan mekanisme penegakannya tidak mungkin dengan sendirinya diketahui oleh segenap lapisan masyarakat Indonesia yang begitu plural dan heterogen.[19]  Kedua paradigma hukum modern dengan pandangan hukum harus terkodifikasi dan unifikasi cendrung terpokus pada bagaimana membuat aturan sebanyak mungkin, tampa terlalu peduli pada bagaimana agar rakyat yang untuknya hukum itu dibuat, merasa terpasang dalam isi hukum itu.[20]
Sebuah kasus dalam pengadilan O.J simpson di Amerika memperlihatkan bagaimana ketidak berdayaan seseorang terhadap pasal-pasal yang mengatakan berbeda dengan semangat keadilan yang sesungguhnya, sehingga dengan ketidak berdayaan terhadap jeratan pasal-pasal tersebut semua orang dengan pasrah mengatakan apa boleh buat hukum berkata demikaian. Pada saat tersebut sesungguhnya manusia mempersembahkan kedaulatannya pada hukum yang dibuat oleh manusia itu sendiri[21].
b)      Transplantasi hukum
Transplantasi dalam pembahsan ini dimaknai sebagai sebuah pengadopsian hukum indonesia dari berbagai macam sistem hukum dari negara-negara lain. Hampir bisa dipastikan bahwa apa yang menjadi aturan main dalam berhukum di Indonesia adalah merupakan pengadopsian hukum-hukum dari luar, seperti halnya KUH Pidanan hingga detik ini masih tetap diberlakukan. Hukum yang dibangun berdasrkan pondasi yang tidak tepat sudah pasti tidak akan dapat berjalan sesuai dengan kondisi yang ada.
Watak hukum nasional yang dibilang modern oleh Prof. Tjip dibangun oleh basis filsafat eropa yang berdasarkan atas kondisi sosial ekonomi politik serta kultur dan budaya mereka sendiri yang sudah barang tentu jauh berbeda dengan kondisi sosial ekonomi politik serta kultur masyarakat Indonesia[22]. Disamping itu salah satu watak hukum modern adalah liberal oleh karena itu hukum modern sebagaimana yang difahami sekarang ini sangat berseberangan dengan kondisi hukum modern itu hadir. Salah satu negara yang mampu mengeleminir kehadirat hukum modern dalam hukum nasional mereka adalah jepang, maka dalam hal ini dapat kita saksikan bagaiman negara sakura tersebut mempu berperadaban dengan baik ditengah arus modernisasi dari segala aspek kehidupan.

HUKUM DAN DINAMIKA SOSIAL


1.        Pendahuluan
Hukum dalam realitasnya tidak memiliki kesamaan difinisi, hal ini paling tidak disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah, paradigma yang digunakan oleh para pakar hukum tentang  hukum itu sendiri berbeda-beda, kedua, konteks sosio kultural yang melingkupi berbeda-beda pula sehingga berupaya menyesuaikan hukum dengan kondisi tersebut. Terlepas dari hal tersebut menurut Ojte Salman dan Anton F. Susanto, dari sekian banyak pandangan tentang hukum, apabila dilihat dari karakteristik atau Grand theory dapat dikelompokkan menjadi dua pandangan[1].
Pertama. Pandangan yang didukung oleh tiga argumen, yaitu hukum sebagai suatu sistem yang pada prinsipnya dapat diprediksi dari pengetahuan yang akurat tentang kondisi sistem itu sekarang, perilaku sistem ditentukan sepenuhnya oleh bagian-bagian yang terkecil dari sistem itu, dan teori hukum mampu menjelaskan persoalan sebagaimana adanya tampa keterkaitan dengan orang atau pengamat. Pandangan yang pertama ini mengarah kepada pandangan bahwa hukum bersifat deterministik, reduksionis dan realistik. Salah satu aliran hukum yang berpandangan demikian adalah positivisme hukum dimana mereka  menuntut agar setiap metodelogi yang dipikirkan untuk menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis, sebagai sesuatu objek yang harus dilepaskan dari sembarang macam pra-konsepsi metafisis yang subjektif sifatnya[2]
Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa hukum bukanlah sebagai suatu sistem yang teratur tetap merupakan sesuatu yang berkaitan dengan ketidak beraturan, tidak dapat diramalkan, dan bahwa hukum sangat dipengaruhi oleh persepsi orang atau pengamat dalam memaknai hukum itu sendiri. Pandangan yang kedua ini banyak dikemukakan oleh mereka yang beraliran sosiologi maupun post-modernis. Mereka memandang setiap saat dalam waktu yang tidak dapat dipastikan hukum mengalami perubahan baik kecil maupun besar, evolutif maupun revolusioner[3].
Dari dua grand theory setidaknya dapat disederhanakan menjadi dua pandangan yang menyikapi hukum ketika berhadapan dengan dinamika realitas sosial, yang satunya bersifat statik dan kedua bersifat dinamis. Tentu kedua-duanya benar namun dalam pembahasan ini penulis lebih tertarik kepada pandangan yang kedua bahwa hukum senantiasa berada pada ruang dan waktu yang selalu dinamis dan oleh karenanya hukum tidak boleh menutup dirinya hukum harus terbuka dengan segala macam disiplin ilmu.
Dalam kontek perubahan hukum di indonesia kaitannya dengan perubahan sosial maka kondisi sosiallah yang banyak memberikan warna terhadap perubahan hukum seperti yang diungkapkan oleh Satjipto Raharjo semenjak sekitar tahun 1967, maka perubahan sosial di Indonesia mulai menampilkan cirinya yang terencana dengan jauh lebih seksama dibanding dengan masa-masa sebelumnya. Keadaan itu terjadi oleh karena kehidupan politik lebih tenang dan terkendali dibanding dengan waktu-watu yang lalu. Dimana seiring dengan stabilitas masyarakat maka pemerintah dapat menyusun rencana-rencana pembangunan lima tahunan[4].
Lebih jauh Satjipto mengatakan bahwa seiring dengan perubahan-perubahan yang terus menerus terjadi maka perubahan-perubahan itulah yang sesungguhnya meberikan bentuknya tersendiri terhadap hukum. Hukum tidak menciptakan subtansi yang diaturnya melainkan lahir dari apa yang disebut dengan perubahan sosial itu[5].








2.        Rumusan Masalah
a.         Bagaimana bentuk-bentuk perubahan sosial dalam masyarakat dan bagaimana pula konsekwensi dari perubahan tersebut terhadap hukum?
b.         Dalam kontek hukum di indonesia sejauhmana upaya mendialogkan hukum dengan dinamika sosial yang ada?

3.        Pembahasan
Perubahan sosial masih merupakan perhatian utama bagi banyak ahli teori sosial. Ketika kita berpaling ke abad kedua puluh belakangan ini dalam suatu tinjauan kembali, jelas kelihatan bahwa kecepatan dan kompleksitas perubahan sosial dalam masyarakat-masyarakat industri modern jauh lebih besar dibandingkan dengan apa yang dibayangkan oleh para ahli teori sosial terjadi secara pesat, sudah menjadi hal yang biasa dan dianggap sepele.
Banyak ahli ilmu sosial modern menaruh perhatian pada berbagai segi perubahan sosial, dan beberapa berusaha untuk menunjukkan kecendrungan yang akan memungkinkan proyeksi-proyesi tentang masa depan itu dapat dibuat. Beberapa diantara mereka percaya akan adanya indikasi-indikasi bahwa kita ini ada pada jalan pintas yang dalam jangka panjang dapat menjadi penting untuk masa depan. Misalnya, Daniel Bell menganalisa munculnya masyarakat pasca industri. Istilah itu menunjukkan berakhirnya satu masa, dan dimulainya masa baru[6].
Transisi dari masyarakat indutri ke masyarakat post-industri terjadi apabila labih dari lima puluh persen tenaga kerja terlibat didalamnya yang bukan produksi atau sejenisnya, melainkan dalam bidang pelayanan jasa. Suatu indikasi dari transisi ini adalah angka proporsi tenaga kerja dari pada kantor-kantor dalam masyarakat kita, yang sudah tercapai di tahun 1959.  Bagi bell, angka ini penting karena nilai-nilai, sikap-sikap, dan gaya hidup orang dalam pekerjaan jasa secara kwalitatif berbeda dari mereka yang bekerja dibidang pruduksi. Mereka lebih cenderung menjadi orang-orang yang berorentasi pada manusia daripada yang hanya memperhatikan efisiensi teknis,karena pekerjaan mereka adalah menghadai orang dan bukan benda[7].     
Terlepas dari apa yang diungkapkan oleh daniel Bell tentang perubahan soial masyarakat pasca industri menurut Satjipto Raharjo yang mengutip pendapat Gianfranco Poggi  membagi proses perkembangan masyarakat ke dalam tahap-tahap sebagai berikut[8];
a.         Feodalisme
Feodalisme atau masyarakat feodal adalah suatu komunitas yang bersendikan hubungan khusus antara yang dipertuan dan abdinya. Peodalisme yang dimaksud oleh Poggi tersebut adalah dalam kontek dunia Eropa dimana timbul karena terjadinya kekosongan dalam struktur kekuasaan di eropa barat dan pada gilirannya menimbulkan kekacauan. Kekacauan tersebut dilukiskan ke dalam keberantakan struktur kekuasaan yang terjadi, karena.(1) Runtuhnya Kerajaan Romawi Barat baik sebagai sisitem pemerintahan yang terpusat maupun sebagai administrasi yang berpusat pada kekuasaan-kekuasaan lokal. (2) Perpindahan penduduk secara besar-besaran yang dikenal dengan sebutan volkerwanderungen dan (3) Berpindahnya jalur-jalur perdagangan yang besar diantara penduduk di Eropa Barat dari laut tengah[9].  
b.         Standestaat
Standestat merupakan suatu unit dalam pelapisan sosial, yaitu sebagai suatu golongan penduduk yang mempunyai status sama. Golongan tersebut terdiri dari; bangsawan,agamawan dan penduduk biasa. Standestaat merupakan suatu ramuan baru, yang merangkum unsur-unsur berupa golongan-golongan tersebut kedalam suatu kesatuan yang baru. Munculnya kekuatan politik yang baru, maka timbul konfigurasi baru dalam struktur masyarakat. Apabila dalam sistem feodal berhadapan yang dipertuan dengan para kawula, maka sekarang yang berhadapan adalah penguasa dengan stande tersebut. Gabungan antara kedua inilah yang membentuk Standestaat[10].
c.         Absolutisme
Pada perkembangannya standestaat tersebut kemudian membentuk dewan-dewan yang bertugas melakukan diplomasi dengan penguasa, melakukan kritik, menuntut hak-hak mereka dan menuntut persyaratan yang memungkinkan mereka bekerjasama dengan penguasa. Setelah terjadi kerjasama yang kuat maka disitulah kemudian negara mengambil alih peran secara penuh sehingga muncullah wajah baru dalam dinamika tersebut yang disebut dengan absolutisme. Dalam suasana absolutisme tersebut diwarnai dengan peran negara yang mendominasi dan tersingkirnya apa yang disebut dengan standestaat tersebut[11]
d.         Masyarakat Perdata (Civil society)     
Munculnya masyarakat sivil (sivil society) berhubungan erat dengan munculnya borjuis eropa dalam masa sistem peraturan yang absolut. Kelas borjuis terdiri dari para usahawan kapitalis yang mengalami kemajua-kemajuan pada masa itu dan karenanya menginginkan identitasnya sendiri sebagai suatu kelas. Berbeda dengan stande, yang ditegakkan oleh suatu struktur otoritas yang memaksakan disiplin kepada para anggotanya, yaitu perseorangan dengan kepentingan-kepentingan sendiri. Melalui pembiaran untuk berkempetisi tersebut diharapkan akan tercapai suatu keadaan ekuilibrium.
Dalam kenyataannya kelas borjuis menginginkan adanya peraturan yang dapat menjamin berjalannya sistem pasar yang otonom. Maka disitulah dikehendaki badan yang menyelenggarakan hukum secara struktural berada di atas semua kelas, yaitu mempunyai sifat publik yang khas dan kedudukan berdaulat. Disinilah dijumpai makna yang dikandung oleh masyarakat sivil, yang tidak terlepas dari kehidupan hukum dan kenegaraan dalam kehidupan tersebut.[12]
e.         Negara konstitusional
Negara konstitusional adalah puncak dari perkembangan perkembangan masyarakat, dimana dalam kehidupan bernegara tersebut masyarakat secara sadar dan sisitematis berdasarkan atas hukum. Salah satu karakteristik dari kehidupan konstitusional adalah terdapat suatu sistem peraturan hukum yang menjadi kerangka bagi seluruh kegiatan dalam suatu negara, baik itu kegiatan perorangan maupun kenegaraan. Karakteristik tersebut membedakannya dari sistem-sistem pada tingkat perkembangan sebelumnya.
Berbeda dengan Aguste Comte yang merupakan peletak dasar aliran positivisme dia berpendapat bahwa masyrakat mengalami perkembangan melalui tiga tahap yang kemudian pandangannya dikenal sebagai hukum tiga tahap[13].
Adapun tiga tahap perkembangan masyarakat sebagaimana yang dimaksud oleh Aguste Comte adalah sebgai berikut.
a.         Tahap teologis
Dalam fase ini akal budi manusia, yang mencari kodrat dasar manusia, yakni sebab pertama dan sebab terakhir (asal dan tujuan) dari segala akibat, singkatnya pengetahuan absolut mengandaikan bahwa semua gejala dihasilkan oleh tindakan langsung dari hal-hal supranatural. Menurut comte pada tahap ini merupakan tahap terlama dalam sejarah manusia dalam tahap ini Comte membaginya kedalam beberapa periode antara lain:
1)      Fatisisme
Dalam perkembangan yang pertama manusia percaya bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidup sendiri.
2)      Politeisme
Adapun yang kedua adalah pada tahap ini manuisa beranggapan bahwa setiap benda memiliki dewa tersendiri, seperti bumi langit dan lain-lain.
3)      Monoteisme
Pada tahap terakhir ini manusia beranggapan bahwa hanya ada satu kekuatan yang mengontrol alam semesta ini.
b.         Metafisik
Sedangkan dalam fase metafisik, merupakan bentuk lain dari fase teologis, akal budi mengandaikan bukan hal supranatural, melainkan kekuatan-kekuatan abstrak, hal-hal yang bener-bener nyata melekat pada semua benda (abstraksi-abstraksi yang dipersonifikasikan), dan yang mampu menghasilkan semua gejala.
c.         Positif
Adapun dalam fase yang terkakhir yaitu akal budi sudah meninggalkan pencarian yang sia-sia terhadap pengertian-pengertian yang absolut, asal dan tujuan alam semesta, serta sebab-sebab gejala, dan memusatkan perhatiannya kepada studi tentang hukum-hukumnya yakni hubungan-hubungan urutan yang persamaannya yang tidak berubah. Penalaran dan pengamatan, digabungkan secara tepat, merupakan sarana-sarana pengetahuan ini.
       Menurut Comte, manusia merupakan mahkluk sosial yang berkembang mengikuti hukum-hukum sosial dalam sejarah. Comte melihat, positivisme sebagai tahap yang terakhir. Tetapi pada akhir hidupnya, comte berubah pendapat, bahwa sosiologi ilmiah membutuhkan perlengkapan, yaitu agama universal. Bagi comte, agama yang akan mengantarkan manusia ke dalam suatu solidaritas internasional antara semua bangsa.
a.         Melepaskan diri dari pemahaman berhukum yang kaku dan tekstualis
Dalalm banyak letaratur dapat kita melihat bagaimana pandangan positivisme menegenai hukum, dalam hal ini beberapa pandangan para penganut aliran hukum positivisme melihat hukum sebagai sebuah teks undang-undang yang mengandung perintah,maupun sanksi yang tegas bagi mereka-merka yang melanggar perintah tersebut. Salah satunya adalah pandangan H.L.A Hart beberapa pandangan Hart mengenai hukum adalah sebagai berikut[14]:
1)        Hukum adalah perintah
2)        Tidak ada keutuhan untuk menghubungkan hukum dengan moral, sebagaimana yang diundangkan, ditetapkan, positif, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan
3)        Analisis atau studi tentang makna konsep-konsep hukum adalah suatu studi yang penting, analisis atau studi itu harus dibedakan dari studi sejarah, studi sosiologis dan penilaian kritis dalam makna moral, tujuan-tujuan sosisal dan fungsi-fungsinya
4)        Sistem hukum adalah sistem tertutup yang logis, yang merupakan putusan-putusan yang tepat dideduksikan secara logis dari aturan-aturan yang sudah ada sebelumnya
5)        Penghukuman secara moral tidak lagi dapat ditegakkan, melainkan harus dengan jalan argumen yang rasional ataupun pembuktian dengan alat bukti.
Jika melihat pandangan Hart tersebut di atas dalam realita perkembangan hukum yang terjadi telah banyak menyihir para penstudi hukum di berbagai belahan dunia tak terkecuali di indonesia. Selain pandangan Hart sebagaiman penulis sebutkan di atas masih banyak tokoh aliran positivisme yang memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda dengan Hart, seperti Jhon Austin, Hans Kelsen dan lain-lain.
Dalam perkembangannya yang cukup banyak menyihir para penstudi ilmu hukum aliran positivisme mendapat reakasi terutama mereka yang beraliran sosiologi hukum yang kemudian menjadi banyak varian-varian, salah satu diantaranya adalah Nonet Dan Selznick, yang terkenal dengan konsep hukum responsip, dia berpandangan bahwa teori hukum tidaklah buta terhadap konsekwensi sosial dan tidak pula kebal dari pengaruh sosial, dimana dalam kehidupan sosial tersebut terdapat landasan-landasan hukum, pengertian hukum, dan sekaligus menempatkannya pada kehidupan masyarakat tersebut[15].
Selain pandangannya yang disebutkan di atas dalam kontek indonesia dapat ditemukan pandangan yang senada dengan Nonet dan Selznick yaitu Stjipto Raharjo dengan sangat konsisten manawarkan ide dan gagasannya yang sangat revolusioner, bahwa hukum sebagaimana yang banyak dimaknai oleh umumnya orang dalam hal ini aliran positivisme hukum masih melihat keadilan adalah apa yang diperintahkan oleh teks terlepas bagaimana konteks sesungguhnya.
Hukum sebagaimana yang dirancang dalam bentuk teks undang-undang kendatipun dirancang untuk menciptakan ketertiban dan pada suatu kurun waktu tertentu ketertiban dapat tercapai, namun dalam keberhasilan itu, terkandung bibit-bibit kegagalan sehingga muncul unkapan “ ketertiban muncul dari ketidak tertiban” (order out of chaoos)[16]. Lebih lanjut Prof Tjip. Begitu orang memanggilnya berpendapat hukum progresif sebagaimana gagagsannya melihat dunia dan hukum adalah mengalir begitu saja, seperti panta rei (semua mengalir) dari filsuf heraklitos. Menurutnya apabila semua orang berkeyakinan dan bersikap seperti itu maka sesungguhnya orang tersebut membangun suatu cara berhukum yang memiliki karakteristik hukum progresif itu sendiri[17].
Bangunan hukum sebaimana yang di konsepsikan oleh Nonet Selznick dan Satjipto Raharjo dapat menggugah cara berhukum kita yang selama ini didominasi cara berhukum yang mengedepankan prosudural daripada subtansi yang tidak lain berada dalam setiap prilaku masyarakat tertentu dimanapun dia berada dengan corak dan bentuk yang berbeda-beda. Maka dalam hal ini tidak ada pilihan lain selain melakukan konstruski paradigma secara radikal dari dominasi yang mengedepankan pormalistik ke subtansi, maka dengan demikian keadilan yang dicita-citakan tidak dikaburkan oleh egoisme hukum melihat dinamika yang setiap kurun waktu secara alamiah menuntut apa yang disebut dengan dinamika sosial.
b.      Hukum dan fakta sosial
Menurut aliran kritis hakim harus dapat melepaskan diri dari ikatan-ikatan formalisme hukum itu dengan cara lebih memfokuskan diri dari fakta-fakta dari tiap-tiap kasus. Menurut pandangan ini, tidak pernah dua atau lebih kasus yang memiliki fakta-fakta yang persis sama, dengan perkataan lain, setiap kasus adalah unik. Keunikan tersebut tidak mungkin diabaikan dengan mengandalkan pada rumusan-rumusan norma-norma yang berlaku general. Putusan hakim ternyata dihasilkan melalui serangkaian faktor-faktor non-hukum, mulai dari yang kompleks seperti haluan politik, sampai urusan remeh-remeh seperti sarapan pagi sang hakim. Tokoh hukum dari jajaran skandinavia, alf-ross malahan berpendapat kewajiban yang diletakkan oleh norma-norma positif dalam sistem peraturan perundang-undangan hanyalah sekedar anggapan metafisis[18].
Dengan sendirinya, kebenaran yang dibawa oleh norma-norma itu juga bukan kebenaran yang riil. Kewajiban dan kebenaran itu dapat berubah setiap saat seiring dengan kehendak penguasa. Sesuatu yang dapat dipastikan adanya hanyalah fakta-fakta sosial yang muncul dari kasus-kasus konkrit.
Menurut Sulistiowati Irianto. Kegagalan gerakan pembangunan hukum dibeberapa negara berkembang dalam konteks tertentu baik dalam arus utama tidak dapat menjawab berbagai persoalan kemasyarakatan yang rumit dan tidak bisa dijawab secara tekstual dan mono disiplin dan dalam kondisi seperti itu penjelasan yang lebih mendasar dan mencerahkan bisa didapatkan secara interdisipliner. Oleh karenanya menurutnya dibutuhkan suatu pendekatan hukum yang bisa menjelaskan hubungan antara hukum dan masyarakat. Dalam konteks negara yang sedang berkembang studi ilmu hukum harus dapat mengkombinasikan antara ilmu sosial dan ilmu hukum[19].
Sedangkan menurut Satjipto Raharjo, hukum dan masyarakat tidak bisa dipisahkan, bagi hukum masyarakat merupakan sumber daya yang memberi hidup (to nature) dan menggerakkan hukum tersebut. Masyarakat menghidupi hukum dengan nilai-nilai, gagasan, konsep, disamping itu masyarakat juga menghidupi hukum dengan cara menyumbangkan masyarakat untuk menjalankan hukum. Kita mengetahui dari perspektif sosiologis hukum, hukum itu hanya bisa dijalankan melalui campur tangan manusia, sebagai golongan yang menyelenggarakan hukum, maupun mereka yang wajib menjalankan ketentuan hukum. Dengan demikian masuklah aspek perilaku manusia kedalam hukum[20].
Suatu hal yang mustahil jika hukum bisa terlepas dan otonom dari unsur-unsur yang lain, oleh karena itu dalam hal ini Sabian Ustman melihat hukum sebagai fakta sosial tidaklah dikonsepsikan sebagai suatu gejala normatif yang otonom dan atau mandiri, akan teteapi sebagai suatu institusi sosial yang selalu membumi secara riil dengan pola-pola dan atau variabel-variabel sosial yang senyatanya hidup dan berkembang serta berakar di masyarakat.[21]  
Lebih lanjut Sabian berpendapat bahwa ada perbedaan mendasar anatara hukum  sebagai fakta hukum dengan hukum sebagai fakta sosial. Hukum sebagai fakta hukum spekulatif teoritis dan normatif, sementara hukum sebagai fakta sosial bersifat sosiologis’empiris,non-doktrinal dan non-normatif.
Dengan demikian dapat dikatakan bahawa hukum dan dinamika sosial adalah dua hal yang saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Masyarakat memberi hidup hukum sedangkan hukum mengarahkan masyarakat menuju tujunannya. Sebagaimana pandangan sosiological jurisprudence hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat. Lebih jauh Aliran ini berpandangan bahwa kaitannya dengan hukum yang positif,dia hanya akan bisa efektif apabila senyatanya selaras dengan hukum yang hidup di masyarakat dan pusat perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada badan-badan legislatif,keputusan-keputusan badan yudikatif atau ilmu hukum, tetapi senyatanya adalah justeru terletak di dalam masyrakat itu sendiri.
Hal yang senada di ungkapkan oleh Awaludin Marwan yang berpendapat bahwa hukum tidak bisa lepas dari masyarakat secara sosial , hukum dilaksanakan dibuat dan diterapkan atas mandat masyarakat. Sehingga mempelajari hukum pertama-tama hendaknya mempelajari masyarakatnya. Tidak ada hukum tampa ada masyarakat[22].
Lebih lanjut Awaludin Marwan berpendapat bahwa hukum yang baik adalah hukum yang memiliki legitimasi moral dan politik dari masyarakat, yang berisikan keinginan, harapan, kebutuhan dan kebudayaan masyarakat. Hukum yang tidak mengandung hati nurani rakyat, maka ia bukanlah hukum yang baik dan hukum yang terkhir inilah yang harus dikritik dan dirobohkan.
Menarik untuk disimak pendapat para ahli hukum sebagaimana penulis sebutkan di atas, hukum tidak lagi sebagai sebuah musium yang terpajang dilembaga-lembaga hukum melainkan merupakan wujud dari dinamika kehidupan sosial. Dengan berangkat dari pendapat Satjipto Raharjo Bahwa hukum adalah untuk manuisia dan bukan hukum untuk hukum merupakan sebuah paradigma baru melihat dan menyikapi hukum yang selama ini masih terkungkung dalam hegemoni paradigma yang patalistik dan formalistik, hal tersebut menurut penulis harus di awali dari pokok yang mendasar yaitu, perubahan kurikulum pendidikan hukum di pergurua tinggi perguruan tinggi, yang nantinya dengan sendirinya akan melahirkan para ilmua-ilmua hukum yang memiliki kepekaan terhadap kemauan masyarakat tentang keadilan itu sendiri.

Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa hukum dan masyarakat adalah satu kesatuan yang tidak terpisah, hukum adalah benda mati, hidup tidaknya tergantung sejauh mana masyarakat menggerakkan hukum itu senidri, disamping itu adanya perubahan corak hukum dari masa ke masa merupakan wujud bahwa adanya keharusan hukum untuk senantiasa berdialektika dengan kontek dimana dia berada.
Maka dalam konteks penegakan hukum di indonesia diperlukan sebuah paradigma baru dalam melihat hukum, hukum tidak lagi dipandang kaku melainkan dinamis sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh masyarakat pencari keadilan. Dalam hal ini para hakim terutama diharapkan tidak lagi menggunakan kaca mata kuda dalam melihat hukum melainkan berbagai macam perspektif demi terwujudnya cita-cita hukum yaitu, keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial.