Jumat, 03 Juni 2011

Upaya Penanggulangan Krisis Kepercayaan Masyarakat Terhadap Hukum

A.       Pendahuluan
Dalam banyak literatur hukum dimaknai sangat bervariasi, hal tersebut dikarenakan paradigma dan sudut pandang yang digunakan dalam melihat hukum itu sendiri berbeda-beda, namun pada intinya varian-varian pemaknaan terhadap hukum tersebut tak seorangpun dari para ahli atau pakar hukum yang mengingkari tujuan akhir dari hukum itu sendiri adalah tercapainya keadilan sosial bagi keberlangsungan hidup manusia itu sendiri.
Oleh karena itu menarik untuk melihat pandangan salah satu Sofis Ionian mengenai hukum itu sendiri yang dikutip oleh Bernard L. Tanya DKK, yaitu pandangan Plato dimana dia berpendapat bahwa dalam situasi ketidak adilan hukum hukumlah yang menjadi instrumen menghadirkan keadilan, dalam bentuk pemerintahan yang bagaimanapun ketidak adilan akan selalu ada dan disitulah peran hukum yang sesungguhnya untuk menjadi instrumen menghadirkan keadilan[1].
Lebih lanjut secara lebih rinci Bernard L. Tanya dkk,mengutip pandangan Plato yang merumuskan teorinya tentang hukum sebagai berikut, Pertama, hukum merupakan tatanan terbaik untuk menangani dunia fenomena yang penuh situasi ketidak adilan. Kedua, aturan-aturan hukum harus dihimpun dalam satu kitab, supaya tidak muncul kekacauan hukum. Ketiga, setiap Undang-Undang harus didahului preamble tentang motif atau tujuan undang-undang tersebut, manfaatnya adalah agar rakyat dapat mengetahui dan memahami kegunaan menaati hukum dan insap tidak baik menaati hukum hanya karena takut dihukum. Keempat, tugas hukum adalah membimbing para warga lewat Undang-Undang pada suatu hidup yang saleh dan sempurna. Kelima,orang yang melanggar hukum harus dihukum[2].  
Rumusan Plato sebagaimana yang dikutip oleh Bernard dkk, jika dilihat dari segi formalistik dalam konteks era modern sesungguhnya telah terejawantahkan dalam realitas hukum indonesia, namun bukan berarti bahwa hukum sebagai instrumen keadilan telah berdiri tegak dan menjadi garda terdepan dalam menangani ketidak adilan ditengah-tengah masyarakat yang kian hari kian tidak menentu perlakuan hukum yang mereka dapatkan dan mereka saksikan. Sudah barang tentu ketidak adilan hukum tersebut membutuhkan penegakan yang serius oleh para penegak hukum itu sendiri,
Oleh karena itu tidak berlebihan kiranya jika dalam hal ini penulis menilai bahwa keadilan hukum yang diangan-angankan masih berada pada tataran ide karena wujud keadilan itu sendiri belum terlihat secara universal ditengah kompleksitas masyarakat yang mejemuk tersebut. Menurut Satjipto Raharjo yang mengutip pandangan Retbruch, pada hakekatnya hukum mengandung ide atau konsep-konsep yang dapat digolongkan sebagai sesuatu yang abstrak dimana ide dan konsep hukum tersebut meliputi, keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial[3]. Maka dengan demikian dalam konteks penegakan hukum maka pada hakekatnya berbicara tentang penegakan ide-ide serta konsep-konsep yang notabene adalah abstrak tersebut, dirumuskan secara lain penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan, proses penegakan ide-ide tersebut merupakan hakekat dari penegakan hukum.
Untuk mewujudkan ide-ide hukum (keadilan,kepastian hukum,kemanfaatan sosial) diperlukan berbagai organisasi, sekalipun pada hakekatnya mengantarkan orang kepada tujuan-tujuan hukum, lebih lanjut Satjipto mengatakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan, keinginan-keinginan hukum adalah fikiran-fikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum, proses penegakan hukum juga menjangkau sampai kepada pembuatan hukum, perumusan pemikiran pembuatan hukum yang dituangkan dalam peraturan akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan, dalam kenyataannya proses penegakan hukum itu akan memuncak kepada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum dan keberhasilan atau kegagalan penegakan hukum dalam menjalankan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan tersebut dibuat[4].
Menurut Mahfud MD, di Indonesia hukum dipandang sebagai sesuatu yang belum tertata secara objektif, namun masih terkesan pandang bulu dan diskriminatif.
Hal ini mengemuka menyusul berbagai persoalan hukum yang terjadi di negeri ini mulai kasus Cicak versus Buaya, skandal Bank Century, dan yang paling mutakhir kasus mafia pajak dan mafia hukum Gayus Tambunan.
"Hukum yang seyogyanya memiliki tujuan tertinggi untuk menegakkan keadilan, ternyata masih jauh panggang dari api. Seperti halnya berbagai produk hukum di masa orde baru yang sangat ditentukan oleh konstelasi politik untuk melanggengkan kekuasaan. Di era reformasi hukum masih menjadi ajang perebutan legitimasi bagi berbagai kepentingan kekuasaan politik untuk mempertahankan dan mengakumulasi kekuasaan. "Bahkan perebutan kekuasaan ini tak hanya melibatkan kekuatan politik melainkan juga kekuatan ekonomi baik dalam maupun luar negeri[5].
Lebih lanjut Mahfud mengatakan, praktik penegakan hukum masih dililit berbagai permasalahan yang menjauhkan hukum dari tujuan mulianya. Secara kasat mata publik dapat melihat banyak kasus yang menunjukkan adanya diskriminasi dalam proses penegakan hukum termasuk putusan-putusan pengadilan, Rasa keadilan kita sering terusik jika membandingkan proses hukum terhadap kasus-kasus kecil seperti pencurian dua buah kapuk randu atau semangka dengan penanganan beberapa kasus korupsi yang sangat lambat dan tidak pernah tuntas[6].
B.       Pembahasan
Seperti yang dijelaskan di atas bahwa penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan dalam arti bahwa ketentuan-ketentuan hukum yang sudah tertuang dalam undang-undang yang merupakan ide yang tadinya berupa ide dan konsep keadilan dan kemanfaatan sosial menjadi sebuah kenyataan. 
Menurut Sudikno Martokusomo tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban didalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi, dalam mencapai tujuan tersebut hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antarperorangan didalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum[7]
Adapun pandangan Sudikno mengenai penegakan hukum senada dengan pandangan Satjpto Raharjo, bahwa dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatn (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit). Adapun yang pertama adalah hukum harus di laksanakan dan ditegakkan, bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku dan tidak boleh menyimpang seperti ungkapan fiat justitia et pereat mundus meskipun dunia ini runtuh hukum harus tetap ditegakkan itulah yang dimkasud dengan kepastian hukum. Adapun yang kedua adalah hukum diharapkan dapat mengandung manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat karena sesungguhnya hukum adalah untuk manusia itu sendiri oleh karena itu dia harus mengandung manfaat atau berguna bagi manusia itu sendiri. Yang terakhir adalah keadilan, dimana dalam penegakan hukum,hukum harus mengikat setiap orang tampa terkecuali artinya setiap orang harus diperlakukan sama dihadapan hukum itu sendiri.
C.       Pokok-pokok permasalahan ketidak percayaan masyarakat terhadap hukum
Seperti yang dijelaskan di atas sejatinya hukum hadir ditengah-tengah masyarakat memiliki peran yang cukup besar dalam membimbing masyarakat menjadi bermoral dan berakhlakul karimah, itulah yang dicita-citakan oleh hukum. Namun sekali lagi cita-cita hukum tersebut harus tersandung batu besar yang dalam realitasnya hukum tidak ditegakkan secara adil dalam tampilannya hukum lebih berpihak kepada kalangan tertentu, disamping itu para penegak hukum, jaksa,hakim dan kepolisian tidak memiliki integritas moral yang tinggi sehingga mereka dengan mudah diperdaya oleh apa yang disebut dengan uang. Tiga hal tersebut merupakan pokok yang mendasar rapuhnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum, dalam pembahasan dibawah ini penulis akan mencoba mengurai masing-masing permasalahan mendasar tersebut disertai dengan bukti-bukti yang menguatkan ketiga hal tersebut bener-bener terjadi.   
1.         Penegakan hukum yang diskriminatif
Dalam ketentuan pasal dalam pasl 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa “ setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Dalam pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 ini memuat beberapa hal diantaranya pengakuan, jaminan,perlindungan, kepastian hukum dan kedudukan yang sama dihadapan hukum yang berarti bahwa hukum tidak memandang status seseorang semuanya tidak ada yang diistimewakan semua sama dihadapan hukum. Kasus Nenek Minah asal Banyumas yang divonis 1,5 karena diduga melakukan pencurian 3 buah kakau[8], kemudia bagaimana Artalyta Suryani atau akrab dipanggil Ayin, terpidana kasus suap kepada jaksa Urip Tri Gunawan yang menyulap penjara menjadi rumah mewah dengan Fasilitas yang lengkap[9], pemberian grasi kepada Aulia Pohan dan lain-lain. Kesemuanya itu merupakan contoh konkrit bagaimana hukum menunjukkan ketidak-adilannya memperlakukan warga negara yang sebetulnya memiliki hak yang sama dan perlakuan yang sama pula.
2.         Uang yang mewarnai penegakan hukum
Masalah selanjutnya yang kerap terjadi dalam penegakan hukum adalah perkasanya para pemilik modal mengobok-obok hukum, para pnegak hukum seolah-olah tidak berdaya di buatnya, beberapa kasus besar yang terjadi akhir-akhir ini seperti mafia pajak yang melibatkan petugas perpajakan dalam hal ini Gayus Tambunan, kemudian beberapa orang pejabat tinggi polri, kasus suap pemilihan gubernur BI yang melibatkan beberapa tokoh politik dari beberapa partai dan masih banyak kasus penyuapan lainnya yang penulis tidak bisa sebutkan satu per-satu. Tidak bisa kita pungkiri bahwa kasus penyuapan tersebut telah membuat masyarakat alergi dengan hukum yang ada.
3.         Bobroknya moralitas penegak hukum
Hampir bisa dipastikan bahwa sumber utama dari ketidak beresan penegakan hukum di Indonesia adalah berawal dari moralitas penegak hukum yang sangat buruk. Orang yang bermoral baik adalah orang yang memiliki tingkat ketakwaan dan keimanan yang berasal dari sikap istiqomah menjalankan perintah Tuhan Yang Maha Kuasa, dimana dalam kehidupan yang dijalani sehari-hari semata-mata untuk mengabdi kepadanya. Itulah sebabnya aspek moral merupakan hal yang sangat mendasar dalam penegakan hukum, orang yang bermoral tinggi akan selalu beranggapan bahwa hukum sesungguhnya adalah untuk manusia, bukan sebaliknya, yang bisa diperluas menjadi asas dan doktrin untuk rakyat, bukan sebaliknya. Dengan paradigma tersebut, maka apabila rakyat menghadapi atau didera oleh suatu persoalan, maka bukan rakyat yang disalahkan melainkan kita harus berbuat sesuatu terhadap hukum yang ada,[10]dalam hal ini melakukan konstruk terhadap hukum itu sendiri. Dalam pandangan penulis tampa disertai dengan moralitas yang tinggi mustahil hal tersebut dapat dilakukan. Barangkali disitulah letak persoalan yang mendasar yang cendrung terabaikan oleh para penegak hukum di Indonesia yang sudah terjerembab kedalam aliran positifisme hukum yang mengabaikan aspek moral begitu saja, sehingga hukum cendrung menjadi kasar dan kaku tampa mengenal ampun, yang semestinya terkadang orang layak untuk mendapat pengampunan.
D.       Upaya Mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum
Ketika berbicara mengenai kepercayaan masyarakat terhadap hukum maka kita tidak lepas dari sejauhmana hukum dapat memfungsikan dirinya sebagai sarana keadilan,kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial. Untuk mengarah kepada tiga hal tersebut maka yang harus dilakukan adalah melakukan beberapa hal mendasar mulai dari perubahan paradigma, ide atau konsep, dan gagasan, dan yang terpenting adalah implementasi beberapa hal tersebut dalam realitas kehidupan yang nyata.
1.         Perubahan Paradigma
Secara terminologi paradigma merupakan Bahasa Inggris yang berasal dari bahasa yunani yaitu” paradeigma”, para berarti disamping,di sebelah dan “dekyani” berarti memperlihatkan; yang berarti; model contoh,arketipe, ideal. Menurut Oxpord Englihs Dictionory,paradigm” atau paradigma adalah contoh atau pola. Akan tetapi didalam komunitas ilmiah paradigma dipahami sebagai sesuatu yang lebih konseptual dan signifikan, meskipun bukan sesuatu yang tabu untuk diperdebatkan[11].