Jumat, 03 Juni 2011

HUKUM DAN DINAMIKA SOSIAL


1.        Pendahuluan
Hukum dalam realitasnya tidak memiliki kesamaan difinisi, hal ini paling tidak disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah, paradigma yang digunakan oleh para pakar hukum tentang  hukum itu sendiri berbeda-beda, kedua, konteks sosio kultural yang melingkupi berbeda-beda pula sehingga berupaya menyesuaikan hukum dengan kondisi tersebut. Terlepas dari hal tersebut menurut Ojte Salman dan Anton F. Susanto, dari sekian banyak pandangan tentang hukum, apabila dilihat dari karakteristik atau Grand theory dapat dikelompokkan menjadi dua pandangan[1].
Pertama. Pandangan yang didukung oleh tiga argumen, yaitu hukum sebagai suatu sistem yang pada prinsipnya dapat diprediksi dari pengetahuan yang akurat tentang kondisi sistem itu sekarang, perilaku sistem ditentukan sepenuhnya oleh bagian-bagian yang terkecil dari sistem itu, dan teori hukum mampu menjelaskan persoalan sebagaimana adanya tampa keterkaitan dengan orang atau pengamat. Pandangan yang pertama ini mengarah kepada pandangan bahwa hukum bersifat deterministik, reduksionis dan realistik. Salah satu aliran hukum yang berpandangan demikian adalah positivisme hukum dimana mereka  menuntut agar setiap metodelogi yang dipikirkan untuk menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis, sebagai sesuatu objek yang harus dilepaskan dari sembarang macam pra-konsepsi metafisis yang subjektif sifatnya[2]
Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa hukum bukanlah sebagai suatu sistem yang teratur tetap merupakan sesuatu yang berkaitan dengan ketidak beraturan, tidak dapat diramalkan, dan bahwa hukum sangat dipengaruhi oleh persepsi orang atau pengamat dalam memaknai hukum itu sendiri. Pandangan yang kedua ini banyak dikemukakan oleh mereka yang beraliran sosiologi maupun post-modernis. Mereka memandang setiap saat dalam waktu yang tidak dapat dipastikan hukum mengalami perubahan baik kecil maupun besar, evolutif maupun revolusioner[3].
Dari dua grand theory setidaknya dapat disederhanakan menjadi dua pandangan yang menyikapi hukum ketika berhadapan dengan dinamika realitas sosial, yang satunya bersifat statik dan kedua bersifat dinamis. Tentu kedua-duanya benar namun dalam pembahasan ini penulis lebih tertarik kepada pandangan yang kedua bahwa hukum senantiasa berada pada ruang dan waktu yang selalu dinamis dan oleh karenanya hukum tidak boleh menutup dirinya hukum harus terbuka dengan segala macam disiplin ilmu.
Dalam kontek perubahan hukum di indonesia kaitannya dengan perubahan sosial maka kondisi sosiallah yang banyak memberikan warna terhadap perubahan hukum seperti yang diungkapkan oleh Satjipto Raharjo semenjak sekitar tahun 1967, maka perubahan sosial di Indonesia mulai menampilkan cirinya yang terencana dengan jauh lebih seksama dibanding dengan masa-masa sebelumnya. Keadaan itu terjadi oleh karena kehidupan politik lebih tenang dan terkendali dibanding dengan waktu-watu yang lalu. Dimana seiring dengan stabilitas masyarakat maka pemerintah dapat menyusun rencana-rencana pembangunan lima tahunan[4].
Lebih jauh Satjipto mengatakan bahwa seiring dengan perubahan-perubahan yang terus menerus terjadi maka perubahan-perubahan itulah yang sesungguhnya meberikan bentuknya tersendiri terhadap hukum. Hukum tidak menciptakan subtansi yang diaturnya melainkan lahir dari apa yang disebut dengan perubahan sosial itu[5].








2.        Rumusan Masalah
a.         Bagaimana bentuk-bentuk perubahan sosial dalam masyarakat dan bagaimana pula konsekwensi dari perubahan tersebut terhadap hukum?
b.         Dalam kontek hukum di indonesia sejauhmana upaya mendialogkan hukum dengan dinamika sosial yang ada?

3.        Pembahasan
Perubahan sosial masih merupakan perhatian utama bagi banyak ahli teori sosial. Ketika kita berpaling ke abad kedua puluh belakangan ini dalam suatu tinjauan kembali, jelas kelihatan bahwa kecepatan dan kompleksitas perubahan sosial dalam masyarakat-masyarakat industri modern jauh lebih besar dibandingkan dengan apa yang dibayangkan oleh para ahli teori sosial terjadi secara pesat, sudah menjadi hal yang biasa dan dianggap sepele.
Banyak ahli ilmu sosial modern menaruh perhatian pada berbagai segi perubahan sosial, dan beberapa berusaha untuk menunjukkan kecendrungan yang akan memungkinkan proyeksi-proyesi tentang masa depan itu dapat dibuat. Beberapa diantara mereka percaya akan adanya indikasi-indikasi bahwa kita ini ada pada jalan pintas yang dalam jangka panjang dapat menjadi penting untuk masa depan. Misalnya, Daniel Bell menganalisa munculnya masyarakat pasca industri. Istilah itu menunjukkan berakhirnya satu masa, dan dimulainya masa baru[6].
Transisi dari masyarakat indutri ke masyarakat post-industri terjadi apabila labih dari lima puluh persen tenaga kerja terlibat didalamnya yang bukan produksi atau sejenisnya, melainkan dalam bidang pelayanan jasa. Suatu indikasi dari transisi ini adalah angka proporsi tenaga kerja dari pada kantor-kantor dalam masyarakat kita, yang sudah tercapai di tahun 1959.  Bagi bell, angka ini penting karena nilai-nilai, sikap-sikap, dan gaya hidup orang dalam pekerjaan jasa secara kwalitatif berbeda dari mereka yang bekerja dibidang pruduksi. Mereka lebih cenderung menjadi orang-orang yang berorentasi pada manusia daripada yang hanya memperhatikan efisiensi teknis,karena pekerjaan mereka adalah menghadai orang dan bukan benda[7].     
Terlepas dari apa yang diungkapkan oleh daniel Bell tentang perubahan soial masyarakat pasca industri menurut Satjipto Raharjo yang mengutip pendapat Gianfranco Poggi  membagi proses perkembangan masyarakat ke dalam tahap-tahap sebagai berikut[8];
a.         Feodalisme
Feodalisme atau masyarakat feodal adalah suatu komunitas yang bersendikan hubungan khusus antara yang dipertuan dan abdinya. Peodalisme yang dimaksud oleh Poggi tersebut adalah dalam kontek dunia Eropa dimana timbul karena terjadinya kekosongan dalam struktur kekuasaan di eropa barat dan pada gilirannya menimbulkan kekacauan. Kekacauan tersebut dilukiskan ke dalam keberantakan struktur kekuasaan yang terjadi, karena.(1) Runtuhnya Kerajaan Romawi Barat baik sebagai sisitem pemerintahan yang terpusat maupun sebagai administrasi yang berpusat pada kekuasaan-kekuasaan lokal. (2) Perpindahan penduduk secara besar-besaran yang dikenal dengan sebutan volkerwanderungen dan (3) Berpindahnya jalur-jalur perdagangan yang besar diantara penduduk di Eropa Barat dari laut tengah[9].  
b.         Standestaat
Standestat merupakan suatu unit dalam pelapisan sosial, yaitu sebagai suatu golongan penduduk yang mempunyai status sama. Golongan tersebut terdiri dari; bangsawan,agamawan dan penduduk biasa. Standestaat merupakan suatu ramuan baru, yang merangkum unsur-unsur berupa golongan-golongan tersebut kedalam suatu kesatuan yang baru. Munculnya kekuatan politik yang baru, maka timbul konfigurasi baru dalam struktur masyarakat. Apabila dalam sistem feodal berhadapan yang dipertuan dengan para kawula, maka sekarang yang berhadapan adalah penguasa dengan stande tersebut. Gabungan antara kedua inilah yang membentuk Standestaat[10].
c.         Absolutisme
Pada perkembangannya standestaat tersebut kemudian membentuk dewan-dewan yang bertugas melakukan diplomasi dengan penguasa, melakukan kritik, menuntut hak-hak mereka dan menuntut persyaratan yang memungkinkan mereka bekerjasama dengan penguasa. Setelah terjadi kerjasama yang kuat maka disitulah kemudian negara mengambil alih peran secara penuh sehingga muncullah wajah baru dalam dinamika tersebut yang disebut dengan absolutisme. Dalam suasana absolutisme tersebut diwarnai dengan peran negara yang mendominasi dan tersingkirnya apa yang disebut dengan standestaat tersebut[11]
d.         Masyarakat Perdata (Civil society)     
Munculnya masyarakat sivil (sivil society) berhubungan erat dengan munculnya borjuis eropa dalam masa sistem peraturan yang absolut. Kelas borjuis terdiri dari para usahawan kapitalis yang mengalami kemajua-kemajuan pada masa itu dan karenanya menginginkan identitasnya sendiri sebagai suatu kelas. Berbeda dengan stande, yang ditegakkan oleh suatu struktur otoritas yang memaksakan disiplin kepada para anggotanya, yaitu perseorangan dengan kepentingan-kepentingan sendiri. Melalui pembiaran untuk berkempetisi tersebut diharapkan akan tercapai suatu keadaan ekuilibrium.
Dalam kenyataannya kelas borjuis menginginkan adanya peraturan yang dapat menjamin berjalannya sistem pasar yang otonom. Maka disitulah dikehendaki badan yang menyelenggarakan hukum secara struktural berada di atas semua kelas, yaitu mempunyai sifat publik yang khas dan kedudukan berdaulat. Disinilah dijumpai makna yang dikandung oleh masyarakat sivil, yang tidak terlepas dari kehidupan hukum dan kenegaraan dalam kehidupan tersebut.[12]
e.         Negara konstitusional
Negara konstitusional adalah puncak dari perkembangan perkembangan masyarakat, dimana dalam kehidupan bernegara tersebut masyarakat secara sadar dan sisitematis berdasarkan atas hukum. Salah satu karakteristik dari kehidupan konstitusional adalah terdapat suatu sistem peraturan hukum yang menjadi kerangka bagi seluruh kegiatan dalam suatu negara, baik itu kegiatan perorangan maupun kenegaraan. Karakteristik tersebut membedakannya dari sistem-sistem pada tingkat perkembangan sebelumnya.
Berbeda dengan Aguste Comte yang merupakan peletak dasar aliran positivisme dia berpendapat bahwa masyrakat mengalami perkembangan melalui tiga tahap yang kemudian pandangannya dikenal sebagai hukum tiga tahap[13].
Adapun tiga tahap perkembangan masyarakat sebagaimana yang dimaksud oleh Aguste Comte adalah sebgai berikut.
a.         Tahap teologis
Dalam fase ini akal budi manusia, yang mencari kodrat dasar manusia, yakni sebab pertama dan sebab terakhir (asal dan tujuan) dari segala akibat, singkatnya pengetahuan absolut mengandaikan bahwa semua gejala dihasilkan oleh tindakan langsung dari hal-hal supranatural. Menurut comte pada tahap ini merupakan tahap terlama dalam sejarah manusia dalam tahap ini Comte membaginya kedalam beberapa periode antara lain:
1)      Fatisisme
Dalam perkembangan yang pertama manusia percaya bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidup sendiri.
2)      Politeisme
Adapun yang kedua adalah pada tahap ini manuisa beranggapan bahwa setiap benda memiliki dewa tersendiri, seperti bumi langit dan lain-lain.
3)      Monoteisme
Pada tahap terakhir ini manusia beranggapan bahwa hanya ada satu kekuatan yang mengontrol alam semesta ini.
b.         Metafisik
Sedangkan dalam fase metafisik, merupakan bentuk lain dari fase teologis, akal budi mengandaikan bukan hal supranatural, melainkan kekuatan-kekuatan abstrak, hal-hal yang bener-bener nyata melekat pada semua benda (abstraksi-abstraksi yang dipersonifikasikan), dan yang mampu menghasilkan semua gejala.
c.         Positif
Adapun dalam fase yang terkakhir yaitu akal budi sudah meninggalkan pencarian yang sia-sia terhadap pengertian-pengertian yang absolut, asal dan tujuan alam semesta, serta sebab-sebab gejala, dan memusatkan perhatiannya kepada studi tentang hukum-hukumnya yakni hubungan-hubungan urutan yang persamaannya yang tidak berubah. Penalaran dan pengamatan, digabungkan secara tepat, merupakan sarana-sarana pengetahuan ini.
       Menurut Comte, manusia merupakan mahkluk sosial yang berkembang mengikuti hukum-hukum sosial dalam sejarah. Comte melihat, positivisme sebagai tahap yang terakhir. Tetapi pada akhir hidupnya, comte berubah pendapat, bahwa sosiologi ilmiah membutuhkan perlengkapan, yaitu agama universal. Bagi comte, agama yang akan mengantarkan manusia ke dalam suatu solidaritas internasional antara semua bangsa.
a.         Melepaskan diri dari pemahaman berhukum yang kaku dan tekstualis
Dalalm banyak letaratur dapat kita melihat bagaimana pandangan positivisme menegenai hukum, dalam hal ini beberapa pandangan para penganut aliran hukum positivisme melihat hukum sebagai sebuah teks undang-undang yang mengandung perintah,maupun sanksi yang tegas bagi mereka-merka yang melanggar perintah tersebut. Salah satunya adalah pandangan H.L.A Hart beberapa pandangan Hart mengenai hukum adalah sebagai berikut[14]:
1)        Hukum adalah perintah
2)        Tidak ada keutuhan untuk menghubungkan hukum dengan moral, sebagaimana yang diundangkan, ditetapkan, positif, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan
3)        Analisis atau studi tentang makna konsep-konsep hukum adalah suatu studi yang penting, analisis atau studi itu harus dibedakan dari studi sejarah, studi sosiologis dan penilaian kritis dalam makna moral, tujuan-tujuan sosisal dan fungsi-fungsinya
4)        Sistem hukum adalah sistem tertutup yang logis, yang merupakan putusan-putusan yang tepat dideduksikan secara logis dari aturan-aturan yang sudah ada sebelumnya
5)        Penghukuman secara moral tidak lagi dapat ditegakkan, melainkan harus dengan jalan argumen yang rasional ataupun pembuktian dengan alat bukti.
Jika melihat pandangan Hart tersebut di atas dalam realita perkembangan hukum yang terjadi telah banyak menyihir para penstudi hukum di berbagai belahan dunia tak terkecuali di indonesia. Selain pandangan Hart sebagaiman penulis sebutkan di atas masih banyak tokoh aliran positivisme yang memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda dengan Hart, seperti Jhon Austin, Hans Kelsen dan lain-lain.
Dalam perkembangannya yang cukup banyak menyihir para penstudi ilmu hukum aliran positivisme mendapat reakasi terutama mereka yang beraliran sosiologi hukum yang kemudian menjadi banyak varian-varian, salah satu diantaranya adalah Nonet Dan Selznick, yang terkenal dengan konsep hukum responsip, dia berpandangan bahwa teori hukum tidaklah buta terhadap konsekwensi sosial dan tidak pula kebal dari pengaruh sosial, dimana dalam kehidupan sosial tersebut terdapat landasan-landasan hukum, pengertian hukum, dan sekaligus menempatkannya pada kehidupan masyarakat tersebut[15].
Selain pandangannya yang disebutkan di atas dalam kontek indonesia dapat ditemukan pandangan yang senada dengan Nonet dan Selznick yaitu Stjipto Raharjo dengan sangat konsisten manawarkan ide dan gagasannya yang sangat revolusioner, bahwa hukum sebagaimana yang banyak dimaknai oleh umumnya orang dalam hal ini aliran positivisme hukum masih melihat keadilan adalah apa yang diperintahkan oleh teks terlepas bagaimana konteks sesungguhnya.
Hukum sebagaimana yang dirancang dalam bentuk teks undang-undang kendatipun dirancang untuk menciptakan ketertiban dan pada suatu kurun waktu tertentu ketertiban dapat tercapai, namun dalam keberhasilan itu, terkandung bibit-bibit kegagalan sehingga muncul unkapan “ ketertiban muncul dari ketidak tertiban” (order out of chaoos)[16]. Lebih lanjut Prof Tjip. Begitu orang memanggilnya berpendapat hukum progresif sebagaimana gagagsannya melihat dunia dan hukum adalah mengalir begitu saja, seperti panta rei (semua mengalir) dari filsuf heraklitos. Menurutnya apabila semua orang berkeyakinan dan bersikap seperti itu maka sesungguhnya orang tersebut membangun suatu cara berhukum yang memiliki karakteristik hukum progresif itu sendiri[17].
Bangunan hukum sebaimana yang di konsepsikan oleh Nonet Selznick dan Satjipto Raharjo dapat menggugah cara berhukum kita yang selama ini didominasi cara berhukum yang mengedepankan prosudural daripada subtansi yang tidak lain berada dalam setiap prilaku masyarakat tertentu dimanapun dia berada dengan corak dan bentuk yang berbeda-beda. Maka dalam hal ini tidak ada pilihan lain selain melakukan konstruski paradigma secara radikal dari dominasi yang mengedepankan pormalistik ke subtansi, maka dengan demikian keadilan yang dicita-citakan tidak dikaburkan oleh egoisme hukum melihat dinamika yang setiap kurun waktu secara alamiah menuntut apa yang disebut dengan dinamika sosial.
b.      Hukum dan fakta sosial
Menurut aliran kritis hakim harus dapat melepaskan diri dari ikatan-ikatan formalisme hukum itu dengan cara lebih memfokuskan diri dari fakta-fakta dari tiap-tiap kasus. Menurut pandangan ini, tidak pernah dua atau lebih kasus yang memiliki fakta-fakta yang persis sama, dengan perkataan lain, setiap kasus adalah unik. Keunikan tersebut tidak mungkin diabaikan dengan mengandalkan pada rumusan-rumusan norma-norma yang berlaku general. Putusan hakim ternyata dihasilkan melalui serangkaian faktor-faktor non-hukum, mulai dari yang kompleks seperti haluan politik, sampai urusan remeh-remeh seperti sarapan pagi sang hakim. Tokoh hukum dari jajaran skandinavia, alf-ross malahan berpendapat kewajiban yang diletakkan oleh norma-norma positif dalam sistem peraturan perundang-undangan hanyalah sekedar anggapan metafisis[18].
Dengan sendirinya, kebenaran yang dibawa oleh norma-norma itu juga bukan kebenaran yang riil. Kewajiban dan kebenaran itu dapat berubah setiap saat seiring dengan kehendak penguasa. Sesuatu yang dapat dipastikan adanya hanyalah fakta-fakta sosial yang muncul dari kasus-kasus konkrit.
Menurut Sulistiowati Irianto. Kegagalan gerakan pembangunan hukum dibeberapa negara berkembang dalam konteks tertentu baik dalam arus utama tidak dapat menjawab berbagai persoalan kemasyarakatan yang rumit dan tidak bisa dijawab secara tekstual dan mono disiplin dan dalam kondisi seperti itu penjelasan yang lebih mendasar dan mencerahkan bisa didapatkan secara interdisipliner. Oleh karenanya menurutnya dibutuhkan suatu pendekatan hukum yang bisa menjelaskan hubungan antara hukum dan masyarakat. Dalam konteks negara yang sedang berkembang studi ilmu hukum harus dapat mengkombinasikan antara ilmu sosial dan ilmu hukum[19].
Sedangkan menurut Satjipto Raharjo, hukum dan masyarakat tidak bisa dipisahkan, bagi hukum masyarakat merupakan sumber daya yang memberi hidup (to nature) dan menggerakkan hukum tersebut. Masyarakat menghidupi hukum dengan nilai-nilai, gagasan, konsep, disamping itu masyarakat juga menghidupi hukum dengan cara menyumbangkan masyarakat untuk menjalankan hukum. Kita mengetahui dari perspektif sosiologis hukum, hukum itu hanya bisa dijalankan melalui campur tangan manusia, sebagai golongan yang menyelenggarakan hukum, maupun mereka yang wajib menjalankan ketentuan hukum. Dengan demikian masuklah aspek perilaku manusia kedalam hukum[20].
Suatu hal yang mustahil jika hukum bisa terlepas dan otonom dari unsur-unsur yang lain, oleh karena itu dalam hal ini Sabian Ustman melihat hukum sebagai fakta sosial tidaklah dikonsepsikan sebagai suatu gejala normatif yang otonom dan atau mandiri, akan teteapi sebagai suatu institusi sosial yang selalu membumi secara riil dengan pola-pola dan atau variabel-variabel sosial yang senyatanya hidup dan berkembang serta berakar di masyarakat.[21]  
Lebih lanjut Sabian berpendapat bahwa ada perbedaan mendasar anatara hukum  sebagai fakta hukum dengan hukum sebagai fakta sosial. Hukum sebagai fakta hukum spekulatif teoritis dan normatif, sementara hukum sebagai fakta sosial bersifat sosiologis’empiris,non-doktrinal dan non-normatif.
Dengan demikian dapat dikatakan bahawa hukum dan dinamika sosial adalah dua hal yang saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Masyarakat memberi hidup hukum sedangkan hukum mengarahkan masyarakat menuju tujunannya. Sebagaimana pandangan sosiological jurisprudence hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat. Lebih jauh Aliran ini berpandangan bahwa kaitannya dengan hukum yang positif,dia hanya akan bisa efektif apabila senyatanya selaras dengan hukum yang hidup di masyarakat dan pusat perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada badan-badan legislatif,keputusan-keputusan badan yudikatif atau ilmu hukum, tetapi senyatanya adalah justeru terletak di dalam masyrakat itu sendiri.
Hal yang senada di ungkapkan oleh Awaludin Marwan yang berpendapat bahwa hukum tidak bisa lepas dari masyarakat secara sosial , hukum dilaksanakan dibuat dan diterapkan atas mandat masyarakat. Sehingga mempelajari hukum pertama-tama hendaknya mempelajari masyarakatnya. Tidak ada hukum tampa ada masyarakat[22].
Lebih lanjut Awaludin Marwan berpendapat bahwa hukum yang baik adalah hukum yang memiliki legitimasi moral dan politik dari masyarakat, yang berisikan keinginan, harapan, kebutuhan dan kebudayaan masyarakat. Hukum yang tidak mengandung hati nurani rakyat, maka ia bukanlah hukum yang baik dan hukum yang terkhir inilah yang harus dikritik dan dirobohkan.
Menarik untuk disimak pendapat para ahli hukum sebagaimana penulis sebutkan di atas, hukum tidak lagi sebagai sebuah musium yang terpajang dilembaga-lembaga hukum melainkan merupakan wujud dari dinamika kehidupan sosial. Dengan berangkat dari pendapat Satjipto Raharjo Bahwa hukum adalah untuk manuisia dan bukan hukum untuk hukum merupakan sebuah paradigma baru melihat dan menyikapi hukum yang selama ini masih terkungkung dalam hegemoni paradigma yang patalistik dan formalistik, hal tersebut menurut penulis harus di awali dari pokok yang mendasar yaitu, perubahan kurikulum pendidikan hukum di pergurua tinggi perguruan tinggi, yang nantinya dengan sendirinya akan melahirkan para ilmua-ilmua hukum yang memiliki kepekaan terhadap kemauan masyarakat tentang keadilan itu sendiri.

Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa hukum dan masyarakat adalah satu kesatuan yang tidak terpisah, hukum adalah benda mati, hidup tidaknya tergantung sejauh mana masyarakat menggerakkan hukum itu senidri, disamping itu adanya perubahan corak hukum dari masa ke masa merupakan wujud bahwa adanya keharusan hukum untuk senantiasa berdialektika dengan kontek dimana dia berada.
Maka dalam konteks penegakan hukum di indonesia diperlukan sebuah paradigma baru dalam melihat hukum, hukum tidak lagi dipandang kaku melainkan dinamis sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh masyarakat pencari keadilan. Dalam hal ini para hakim terutama diharapkan tidak lagi menggunakan kaca mata kuda dalam melihat hukum melainkan berbagai macam perspektif demi terwujudnya cita-cita hukum yaitu, keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial.